64x64

Muhaimin Iqbal
Author

Surviving the Global Energy Crisis

Advanced Renewable

Thu , 08 Dec 2022 20:07 WIB


Mendung krisis energi sudah sangat jelas membayangi dunia, setelah Sri Lanka kesulitan BBM dan LPG, beruntun gelombang kesulitan sejenis melanda Ecuador hingga Afrika Selatan. Gelombang demo kenaikan harga BBM juga melanda Panama, Argentina, Camerun, Ghana dan entah negara mana lagi yang akan segera menyusul.

Di Indonesia kita beruntung pemerintah kita masih mampu mensubsidi energi meskipun semakin berat. Namun ini juga tidak berarti ancaman krisis energi global tersebut tidak berlaku bagi kita, sekitar separuh BBM kita harus diimpor dan hampir keseluruhan LPG juga diimpor - artinya bila ada kelangkaan atau lonjakan harga di tingkat global - kita juga pasti kena dampaknya.

Ancaman krisis semacam ini akan semakin intense ke depan karena cadangan minyak yang memang cenderung menurun di tengah kebutuhan yang terus meningkat, diperburuk pula dengan geopolitik global yang tidak selalu kondusif. Di saat yang bersamaan dunia juga sudah merasakan dampak buruk penggunaan energi fosil yang berlebihan - berupa gelombang panas tinggi yang melanda sejumlah negara Eropa dan Amerika - yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Jadi bukan hanya kita perlu survive dari ancaman krisis energi tersebut, tetapi pada saat yang bersamaan kita harus bisa memperbaiki bauran energi kita agar semakin berkurang ketergantungannya pada fosil, dan semakin meningkat componen energi yang carbon neutral.

Di Indonesia kita memiliki sejumlah tanaman penghasil minyak yang sudah umum. Di antaranya jarak pagar atau Jatropha - kami merekomendasikan memanfaatkan tanaman yang ada tetapi tidak menganjurkan memperluas tanamannya karena produktivitasnya rendah. Ada pula kelapa dan kelapa sawit, kami menganjurkan penggunaannya untuk energi tetapi hanya kelebihan produksi atau produksi yang tidak dibutuhkan untuk pangan.

Yang kami usulkan untuk bisa ditanam secara masif dan luas di lahan-lahan gersang kita - kita memiliki 14 juta hektar - adalah tamanu atau nyamplung. Selain tidak berebut dengan pangan, dia juga tidak berebut dengan lahan pertanian ataupun hutan. Kemampuannya untuk tumbuh di lahan gersang bahkan dengan air yang asin - membuatnya sebagai kandidat terbaik bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga negara-negara kering yang masih memiliki akses air laut - seperti Middle East and North Africa (MENA).

Selain tamanu ada satu lagi tanaman yang sangat berpotensi yaitu microalgae, diantaranya ada yang hidup di air laut dan produktivitas energinya paling tinggi diantara tanaman lainnya. Dia juga bisa ditanam dengan sangat cepat dan bisa dipanen dalam hitungan hari. Hanya dia masih memiliki kelemahan satu, yaitu padat modal awalnya. Namun kalau kita di Indonesia mau menanam 7,25 juta hektar saja tanaman ini (kurang lebih separuh dari tanaman sawit kita sekarang) - kita sudah akan mandiri dalam kebutuhan BBM, dan bukan hanya sekedar mandiri - BBM kita juga akan sepenuhnya hijau. Lebih dari itu kita juga bebas dari ancaman krisis energi global!

Tags:
Energy

Please register first!

For post a new comment. You need to login first. Login

Comments

No comments