Sindrom Timun Kunting
Advanced Renewable
Mon , 03 Apr 2023 17:23 WIB
Ketika Pak Tani panen timun dari sawahnya, di keranjangnya ada banyak timun dengan berbagai ukuran dan bentuknya, kemudian anaknya ingn makan sebagian timun tersebut - mana yang diberikan Pak Tani ke anaknya? yang akan diberikan ke anaknya adalah timun-timun yang paling kecil dan dengan bentuk yang tidak baik, dalam bahasa jawa disebutnya sebagai timun kunting.
Mengapa demikian? karena Pak Tani butuh pendapatan, Pak Tani akan jual timun-timun yang terbaik ke pasar dan menyisakan timun-timun yang tidak laku dijual ke pasar untuk konsumsi keluarganya. Inilah yang saya sebut sindrom timun kunting, anak Pak Tani yang justru makan timun yang kunting.
Karena negeri ini awalnya adalah negeri agraris, sadar atau tidak sadar sindrom ini sangat membekas ke generasi yang kini mengelola negeri ini baik di kalangan pemerintahan maupun yang swasta. Dampaknya kita ada kecenderungan untuk menjual produk-produk terbaik kita keluar, dan menyisakan yang tidak terjual keluar untuk konsumsi dalam negeri. Atau bahkan menukar produk yang baik dan sehat - seperti energi bersih dari biomassa yang menjadi pellet, dengan energi kotor berupa minyak dan gas yang kita impor.
Tetapi tidak semua timun kunting juga buruk, bila kita pandai mengolahnya - timun kunting masih bisa jadi asinan atau pikel yang sehat. Demikian pula dengan limbah produk pertanian kita lainnya. Di Industri sawit misalnya, semua produknya yang baik laku keras dijual ke luar, bahkan yang sudah berupa limbah tetapi berkalori tinggi - yaitu cangkang sawit - masih laku keras di luar untuk bahan bakar biomassa yang berkalori tinggi.
Tinggal yang tersisa adalah tandan kosong (tangkos) yang tidak mudah dijual, tangkos bila dibuat pellet sekalipun tidak menarik sebagai bahan bakar industri karena kandungan potasium-nya yang bisa menimbulkan masalah tersendiri di boiler dlsb.
Namun demikian potensi tangkos masih sangat besar untuk mensolusikan kebutuhan energi dalam negeri, khususnya energi domestik pengganti LPG. Kami justru mengincar tangkos yang sangat banyak ini untuk kami oleah dengan pengolahan tertentu sehingga menghasilkan kalori sekitar 25 MJ/kg atau setara 5,975 kcal/kg.
Ini akan menjadi pasangan bahan bakar Ecogas yang sangat baik. Potasium tidak menjadi masalah bagi Ecogas karena kompor gasifikasi Ecogas yang sederhana, tidak akan ada gangguan pada kompor Ecogas tersebut yang ditimbulkan oleh keberadaan potasium dari tangkos.
Jadi kami ingin mengolah 'timun kunting' berupa tangkos tersebut untuk bahan bakar hijau yang sumbernya sangat banyak, dan kebutuhannya juga sangat banyak. Selain mengerem larinya devisa untik impor LPG, dan mengurangi subsidi energi, program ini juga akan menjadi program dekarbonisasi yang efektif - mengganti LPG yang setiap kilogramnya mengeluarkan emisi sebesar 3 kg CO2 /kg LPG, menjadi Ecogas yang carbon neutral - hasil pembakarannya tidak menambah emiisi CO2 di udara. Jadi adanya 'timun kunting'-pun bisa memberi manfaat besar bagi alam ini.
Pos Lainnya
Renewables Self-Consumer, Beyond Electricity
Apr 03, 2023
Penampakan Perdana Tetra Generation Reactor
Apr 03, 2023
Dahulu Meng-idolakan Bapaknya
Apr 03, 2023
BioLPG, How Much Does It Cost?
Apr 03, 2023
Pohon Industri Untuk Biofuels dan Green Chemicals
Apr 03, 2023
Kategori
Renewable Energy
Silakan mendaftar terlebih dahulu!
Untuk memposting komentar baru. Anda harus login terlebih dahulu. Masuk
Komentar
Tidak ada komentar